Langit merah yang kulihat pertama
kali saat aku dan kau keluar dari mobil patroli. Bau menyengat yang sangat kuat
kutemukan di udara sekelilingku. Bau asap, bau keringat, dan bau darah. Begitu
menyengat menjadi bumbu-bumbu udara.
Komandan sudah memutuskan bahwa aku
dan kau adlah patner. Selama kau bernafas, selama itulah kita akan bejuang
bersama. Sudah menjadi kaulku bahwa nafasmu adalah nafasku. Semangatmu adalah
semangatku.kita...
“menyebar”
Seru
komandan. Pada saat itu semua berpencar. Menyebar. Hingga menjadi lebur dengan
warna merah di udara. Melebur. Hingga menjadi lenyap dengan puing-puing yang
berserakan, berhamburan, dan berjatuhan. Satu persatu semua menghilang dari
jangkauan. Kita ke sayap kiri, tempat dimana api menyatu dengan gumpalan asap
yang membumbung tinggi. Memang menyeramkan tapi kita tak gentar.
Kau berlari bersama beberapa
temanmu, memimpin sayap ini yang hanya ada tiga jasad bernyawa. Semakin melebur
ke dalam, semakin menuengat bau anyir dan sangit. Suara jeritan-jeritan juga
tangisan-tangisan. Begitu piluh namun tak ada kata rapuh.
“awas
ada bom susulan”
Teriakmu
tanpa berhenti berlari.
Aku
melihat beberpa orangmu berpencar. Menyebar. Kau lurus ke depan, satu ke kiri,
satu ke kanan, satu lagi ke barat daya.
Aku
juga mendengar suara orang-oran yang berteriak ketakutan. Namun hanya sejenak.
Kemudian semua menjadi diam. Bungkam. Sebentar dan untuk selamanya.
Seketika
suasana menjadi tenang. Legang. Begitu sunyi hingga kau merasa khawatir. Tapi
sekeliling hanya ada asap yang semakin menyesak. Kau menutup hidung namun
matamu semakin awas
Kau
menanti
Seperti
singa yang tengah mengincar mangsanya
Menunggu
sampai tiba saatnya
Taring
kau siapkan, tak kalah dengan kkuh yang kau asah. Ada pergerakan di balik
gumpalan hitam. Seperti bayangan yang menghilang.”kriek” terdengar seperti
suara puing rapuh yang terinjak. Kau dan aku waspada.
Kau
siapkan senjatamu begitu juga dengan aku.
Akhirnya
kita sepakat. Sekaranglah saatnya...
Musuh di depan mata. Mangsa yang mencoba memberontak.
Tapi dia terlambat satu langkah dari kita. Ia gugup atau mungkin kaget, itulah
yang membuat musuh sulit mengalahkan kita dua lawan satu. Akhirnyamusuh
tumbang.
Kita maju ke barisan depan.
Kau
bertemu dengan teman-temanmu di sana. Orang pribumi. Pejuang tanpa senjata.
Mereka dengan tangan hampa namun tak satupun mau menyerah. Kita melebur dengan
mereka. Merapatkan barisan dengan shaf mereka. Mereka tahu siapa kita. Salah
satu dari mengangguk ke arah kita. Ucapan selamat datang. Bergabung. Aku lihat
beberapa orang bersembunyi diam, beberapa lagi merapalkan do’a, dan beberapa
lagi bergerak mengendap-endap.
Pertarungan di mulai.
Lemparan batu dibalas dengan peluru. Raungan pita
suara di saingi dengan raungan granat. Mereka biadap. Pertarungan tak imbang.
Namun teman-temanmu tak putus asa. Satu dua kalian tumbang. Tapi kalian tetap
menantang lawan. Bertahan, dengan menahan peluru merobek tubuh.
Sebentar lagi...
Malam aka menetralisir suasana ini. Genjatan senjata
sementara.
Hanya beberapa gelintir nyawa yang masih sanggup
menyambut malam berkabut. Menikmati kesunyiannya. Suasana menjadi tenang.
Serempak beberapa orang mencari tempat persembunyian. Mungkin untuk istirahat
atau mingkin mengatur siasat. Siapa yang tahu, semua sudah menjadi kodrat. Kau
dan aku kembali menyisir daerah sekitar. Menyapa bebrapa temanmu yang selamat
dan melapor pada komandan.
Ternyata
malam begitu tenang di balik suasana yang emncengkam. Kita sedikit lega,
setidaknya malam ini aman tanpa ada suara bising.
Kita kembali berjalan...
Ada suara berisik dari balik puing bangunan yang masih
utuh. Aku dan kau mulai waspada. Puingitu tidak begitu jauh, jadi kita mulai
mendekatinya. Anehnya ada suara namun tak ada tanda-tanda pergerakan.
Kita tetap melangkah maju
Dan itu dia
Sebuah jasad mungil yang merengkuh di sudut bangunan
itu. Meringkuk, memeluk lutut hingga wajahnya tenggela dalam tubuhnya. Hanya
segelintir jasad yang masih bernyawa. Begitu mungil. Kau mulai mendekatinya...
Ternyata ia seorang gadis kecil.ia menatapmu atau
mungkinmenatap kita berdua.
Aku
dapat melihat malam di matanya. Begitu bening dan dalam. Gelap dan bersinar.
Namun lembap, seperti mutiara di dalam lumpur. Begitu di sayangkan, mata itu di
kelilingi bekas air mata yang masih basah.
Ya tuhan...
Tatapan itu begitu dalam. Seakan ingin
merobekmu,menuduhmu...
Gadis itu hanya sejenak menatapmu, namun sudah cukup
untuk mengirimkan sinyal itu kepadamu. Perasaan itu...
Sebuah kekalutan...
Kehilangan...
Kesendirian...
Luka dalam yang sangat menyakitkan.
Sejenak kau tertegun. Seakan dapat merasakan sakit
itu. Kau memang merasakannya, aku saja yang memiliki rasa.
Gadis itu menerobosmu, ia berlari tanpa menatapmu
lagi. Seakan takut akan ada yang membunuhnya. Ia berlari dan ketakutan.
“hei tunggu”
Teriakmu saat ingin menghentikan gadis itu. Kemana ank
itu? Batinmu. Ia berkeliaran malam hari sedang keadaan gelap dan mungkin tidak
aman. Kau menghawatirkannya.
Kau
bermaksud mengejarnya, mengikuti jejak di atas abu dan suara angin yang
menderu. Malam semakin dalam dan dingin mulai menusuk tulang. Tapi kau belum
menemukannya.Suasana begitu hening dan gelap. Hanya ada penerangan dari cahaya
rembulan yang dermawan. Kau kesulitan mencarinya.
Hingga kau menyerah. Pasrah...
Pagi sudah hampir tiba dan kau harus bersiap untuk
mengangkat senjata.”dimana gadis itu?” lirihmu menutup malam itu.
Ternyata
pagi datang dengat cepat. Bahkan sholat shubuh pun kau kerjakan dengan
tergesah-gesah. Berjama’ah dengan segelintir nyawa yang tersisah. Hanya tersisa
satu orangmu dan pagi ini kau juga kehilangan kontak dengan komandanmu.
Kau mulai sendiri...
Menjelang dhuhah kau masih bergelut dengan siang yang
mulai terik. Logam berjatuhan, gemerisik di atas pasir reruntuhan. Suara
jeritan sudah menjadi lagu langganan. Suara anak kehilangan ayah atau ibu,
suara istri kehilangan suami atau sebaliknya, suara tubuh yang tergores
peluruh. Suara kematian. Suara penjajahan.
Kau mulai lemah, karena akupun juga melemah. Tapi kau
bisikan ditelingaku “kita harus kuat”. Hingga akumenghafal kata-kata itu dengan
otakku yang dangkal. Namun...
Tuhan memberikan pertolongan. Sebuah transfer semangat
perjuangan. Kau melihat gadis itu. Duduk diam bersembunyi. Ia menatapmu dengan
mata yang ternyata sangat indah. Mata seseorang yang ingin di lindungi.
Kau
kembali mengajakku maju. Dengan semangat baru, tak peduli berapa banyak peluru
menembus tubuh. Kau sudah bertekad untuk melingi gadis itu. Negeri itu.
Kau berteriak lengking”maju” dengan suara yang
mengganjal tenggorokan. menyakitkan sebenarnya, tapi kau tak ingin
merasakannya.
“Tuhan bersama kita”
Sorak beberapa pribumi yang tak gentar mati.
Kembali memberimu semangat. Suara-suara
itu,teriakan-teriakan itu, juga jeritan-jeritan itu. Semua ibarat imunisil yang
menyuntikmu dengan berjuta semangat dan kekuatan. Tak ada lagi rasa sakit, yang
ada hanya semangat agar bumi indonesia tidak raib. Hidup atau mati sudah tak penting lagi. Seluruh nafas, seluruh
hidup hanya untuk berjuang dan berjuang...
Demi orang-orang ini
Demi dhuhah yang menjadi saksi
Demi gadis kecil yang bersembunyi
Demi keluarga pertiwi
Bemi rasa cinta, rasa bangga
Demi nusantara
Demi indonesia
Kau tetap melangkah dengan tubuhberdarah, wajah mengelupas tersobek
senjata. Tapi tak ada rasa sakit. Semua rasa itu telah raib.
Kau melihat beberapa
musuh mendekati tempat persembunyian gadis itu. Kau tak rela. Kau berlari
menghalangi mereka. Aku tahu gadis itu ketakutan.kulihat mata tajamnya berair
dan bergetar. Mata bening yang kini sedikit redup oleh pemandangan siang.
Aku melihat reruntuhan bangunan di matanya, puing-puing berjatuhan,
satu persatu nyawa tumbang, juga langit indonesia yang menghitam, semua kulihat
di matanya.
Kau sekarang sendiri, karena aku sudah terlebih dulu undur diri.
Aku tamat. Aku abis. Tapi aku masih melihat, kau tetap menggandengku. Melawan
mereka dengan tubuhku yang tak bernyawa. Jasad yang sejak awal tak ingin
bernafas. Hanya menjadi sebongkah benda,tapi kau mempercayai aku sebagai
patnermu...
Aku berterima kasih, juga meminta maaf..
Kaupun akhirnya melihat gadis itu yang menangis ketakutan. Musu
semakin beringas. Kau kini menahan kesakitan.
Mengapa sakit itu harus datang?. Batinmu. Aku tahu kau sudah
semakin lemah, sudah hampir tumbang. Tapi semangatmu tak padam.
Kau pejuang
Hidup mati untuk perang
Untuk kedamaian dan ketenangan
Untuk kebebasan dan kemerdekaan
Untuk indonesia...
Ternyata tuhan mengabulka do’a kita. Kau berhasil menumbangkan
meeka meki kau sendiri harus tumbang.
Sekaranglah rasa
sakit itu sirna. Hilang. Melayang dalam ketenangan. Ku lihat gadis itu menangis.
Andai saja aku punya air mata mungkin aku juga akan menitikkannya. Tapi apa
daya, aku hanyalah sebuah benda. Sebuah pistol . yang sekarang sudah tak berguna
lagi tanpa kau sang tuannya...
Tapi aku bangga. Sampai titik darah penghabisan kita berjuang.
Meskipun kita tidak bisa lagi melihat langit siang, beningnya langit malam,
juga api yang hampir padam. Setidaknya aku bisa melihat gadis itu mendekati
jasadmu yang tergeletak tak jauh darinya.
Aku masih bisa mendengar tangisannya, jeritannya, yang pertama kali
sejak kita bertemu dengannya tadi malam. Andai kau masih bisa mendegarnya...
“bangun pejuang, bangun...ayo bangun pahlawan...indonesia
membutuhkanmu”
Tapi kau tetap tak membuka matamu. Tangisannya mengiringi
kepergianmu.
Dan aku juga
melihat betapa langit indonesia merah di matanya.
Langit indonesia
yang merah, menghantarmu melayang ke angkasa. Dengan setumpuk harap dan do’a.
Kau yakin tuhan maha pemurah akan mengabulkannya bahwa indonesia pasti
merdeka...
Selamat jalan pahlawan...