Tuesday, November 12, 2013

Langit indonesia merah di matanya

            Langit merah yang kulihat pertama kali saat aku dan kau keluar dari mobil patroli. Bau menyengat yang sangat kuat kutemukan di udara sekelilingku. Bau asap, bau keringat, dan bau darah. Begitu menyengat menjadi bumbu-bumbu udara.
            Komandan sudah memutuskan bahwa aku dan kau adlah patner. Selama kau bernafas, selama itulah kita akan bejuang bersama. Sudah menjadi kaulku bahwa nafasmu adalah nafasku. Semangatmu adalah semangatku.kita...
“menyebar”
Seru komandan. Pada saat itu semua berpencar. Menyebar. Hingga menjadi lebur dengan warna merah di udara. Melebur. Hingga menjadi lenyap dengan puing-puing yang berserakan, berhamburan, dan berjatuhan. Satu persatu semua menghilang dari jangkauan. Kita ke sayap kiri, tempat dimana api menyatu dengan gumpalan asap yang membumbung tinggi. Memang menyeramkan tapi kita tak gentar.
            Kau berlari bersama beberapa temanmu, memimpin sayap ini yang hanya ada tiga jasad bernyawa. Semakin melebur ke dalam, semakin menuengat bau anyir dan sangit. Suara jeritan-jeritan juga tangisan-tangisan. Begitu piluh namun tak ada kata rapuh.
“awas ada bom susulan”
Teriakmu tanpa berhenti berlari.
Aku melihat beberpa orangmu berpencar. Menyebar. Kau lurus ke depan, satu ke kiri, satu ke kanan, satu lagi ke barat daya.
Aku juga mendengar suara orang-oran yang berteriak ketakutan. Namun hanya sejenak. Kemudian semua menjadi diam. Bungkam. Sebentar dan untuk selamanya.
Seketika suasana menjadi tenang. Legang. Begitu sunyi hingga kau merasa khawatir. Tapi sekeliling hanya ada asap yang semakin menyesak. Kau menutup hidung namun matamu semakin awas
Kau menanti
Seperti singa yang tengah mengincar mangsanya
Menunggu sampai tiba saatnya
Taring kau siapkan, tak kalah dengan kkuh yang kau asah. Ada pergerakan di balik gumpalan hitam. Seperti bayangan yang menghilang.”kriek” terdengar seperti suara puing rapuh yang terinjak. Kau dan aku waspada.
Kau siapkan senjatamu begitu juga dengan aku.
Akhirnya kita sepakat. Sekaranglah saatnya...
Musuh di depan mata. Mangsa yang mencoba memberontak. Tapi dia terlambat satu langkah dari kita. Ia gugup atau mungkin kaget, itulah yang membuat musuh sulit mengalahkan kita dua lawan satu. Akhirnyamusuh tumbang.
Kita maju ke barisan depan.
            Kau bertemu dengan teman-temanmu di sana. Orang pribumi. Pejuang tanpa senjata. Mereka dengan tangan hampa namun tak satupun mau menyerah. Kita melebur dengan mereka. Merapatkan barisan dengan shaf mereka. Mereka tahu siapa kita. Salah satu dari mengangguk ke arah kita. Ucapan selamat datang. Bergabung. Aku lihat beberapa orang bersembunyi diam, beberapa lagi merapalkan do’a, dan beberapa lagi bergerak mengendap-endap.
Pertarungan di mulai.
Lemparan batu dibalas dengan peluru. Raungan pita suara di saingi dengan raungan granat. Mereka biadap. Pertarungan tak imbang. Namun teman-temanmu tak putus asa. Satu dua kalian tumbang. Tapi kalian tetap menantang lawan. Bertahan, dengan menahan peluru merobek tubuh.
Sebentar lagi...
Malam aka menetralisir suasana ini. Genjatan senjata sementara.
Hanya beberapa gelintir nyawa yang masih sanggup menyambut malam berkabut. Menikmati kesunyiannya. Suasana menjadi tenang. Serempak beberapa orang mencari tempat persembunyian. Mungkin untuk istirahat atau mingkin mengatur siasat. Siapa yang tahu, semua sudah menjadi kodrat. Kau dan aku kembali menyisir daerah sekitar. Menyapa bebrapa temanmu yang selamat dan melapor pada komandan.
            Ternyata malam begitu tenang di balik suasana yang emncengkam. Kita sedikit lega, setidaknya malam ini aman tanpa ada suara bising.
Kita kembali berjalan...
Ada suara berisik dari balik puing bangunan yang masih utuh. Aku dan kau mulai waspada. Puingitu tidak begitu jauh, jadi kita mulai mendekatinya. Anehnya ada suara namun tak ada tanda-tanda pergerakan.
Kita tetap melangkah maju
Dan itu dia
Sebuah jasad mungil yang merengkuh di sudut bangunan itu. Meringkuk, memeluk lutut hingga wajahnya tenggela dalam tubuhnya. Hanya segelintir jasad yang masih bernyawa. Begitu mungil. Kau mulai mendekatinya...
Ternyata ia seorang gadis kecil.ia menatapmu atau mungkinmenatap kita berdua.
            Aku dapat melihat malam di matanya. Begitu bening dan dalam. Gelap dan bersinar. Namun lembap, seperti mutiara di dalam lumpur. Begitu di sayangkan, mata itu di kelilingi bekas air mata yang masih basah.
Ya tuhan...
Tatapan itu begitu dalam. Seakan ingin merobekmu,menuduhmu...
Gadis itu hanya sejenak menatapmu, namun sudah cukup untuk mengirimkan sinyal itu kepadamu. Perasaan itu...
Sebuah kekalutan...
Kehilangan...
Kesendirian...
Luka dalam yang sangat menyakitkan.
Sejenak kau tertegun. Seakan dapat merasakan sakit itu. Kau memang merasakannya, aku saja yang memiliki rasa.
Gadis itu menerobosmu, ia berlari tanpa menatapmu lagi. Seakan takut akan ada yang membunuhnya. Ia berlari dan ketakutan.
“hei tunggu”
Teriakmu saat ingin menghentikan gadis itu. Kemana ank itu? Batinmu. Ia berkeliaran malam hari sedang keadaan gelap dan mungkin tidak aman. Kau menghawatirkannya.
            Kau bermaksud mengejarnya, mengikuti jejak di atas abu dan suara angin yang menderu. Malam semakin dalam dan dingin mulai menusuk tulang. Tapi kau belum menemukannya.Suasana begitu hening dan gelap. Hanya ada penerangan dari cahaya rembulan yang dermawan. Kau kesulitan mencarinya.
Hingga kau menyerah. Pasrah...
Pagi sudah hampir tiba dan kau harus bersiap untuk mengangkat senjata.”dimana gadis itu?” lirihmu menutup malam itu.

            Ternyata pagi datang dengat cepat. Bahkan sholat shubuh pun kau kerjakan dengan tergesah-gesah. Berjama’ah dengan segelintir nyawa yang tersisah. Hanya tersisa satu orangmu dan pagi ini kau juga kehilangan kontak dengan komandanmu.
Kau mulai sendiri...
Menjelang dhuhah kau masih bergelut dengan siang yang mulai terik. Logam berjatuhan, gemerisik di atas pasir reruntuhan. Suara jeritan sudah menjadi lagu langganan. Suara anak kehilangan ayah atau ibu, suara istri kehilangan suami atau sebaliknya, suara tubuh yang tergores peluruh. Suara kematian. Suara penjajahan.
Kau mulai lemah, karena akupun juga melemah. Tapi kau bisikan ditelingaku “kita harus kuat”. Hingga akumenghafal kata-kata itu dengan otakku yang dangkal. Namun...
Tuhan memberikan pertolongan. Sebuah transfer semangat perjuangan. Kau melihat gadis itu. Duduk diam bersembunyi. Ia menatapmu dengan mata yang ternyata sangat indah. Mata seseorang yang ingin di lindungi.
            Kau kembali mengajakku maju. Dengan semangat baru, tak peduli berapa banyak peluru menembus tubuh. Kau sudah bertekad untuk melingi gadis itu. Negeri itu.
Kau berteriak lengking”maju” dengan suara yang mengganjal tenggorokan. menyakitkan sebenarnya, tapi kau tak ingin merasakannya.
“Tuhan bersama kita”
Sorak beberapa pribumi yang tak gentar mati.
Kembali memberimu semangat. Suara-suara itu,teriakan-teriakan itu, juga jeritan-jeritan itu. Semua ibarat imunisil yang menyuntikmu dengan berjuta semangat dan kekuatan. Tak ada lagi rasa sakit, yang ada hanya semangat agar bumi indonesia tidak raib. Hidup atau mati sudah tak penting lagi. Seluruh nafas, seluruh hidup hanya untuk berjuang dan berjuang...
Demi orang-orang ini
Demi dhuhah yang menjadi saksi
Demi gadis kecil yang bersembunyi
Demi keluarga pertiwi
Bemi rasa cinta, rasa bangga
Demi nusantara
Demi indonesia
Kau tetap melangkah dengan tubuhberdarah, wajah mengelupas tersobek senjata. Tapi tak ada rasa sakit. Semua rasa itu telah raib.

            Kau melihat beberapa musuh mendekati tempat persembunyian gadis itu. Kau tak rela. Kau berlari menghalangi mereka. Aku tahu gadis itu ketakutan.kulihat mata tajamnya berair dan bergetar. Mata bening yang kini sedikit redup oleh pemandangan siang.
Aku melihat reruntuhan bangunan di matanya, puing-puing berjatuhan, satu persatu nyawa tumbang, juga langit indonesia yang menghitam, semua kulihat di matanya.
Kau sekarang sendiri, karena aku sudah terlebih dulu undur diri. Aku tamat. Aku abis. Tapi aku masih melihat, kau tetap menggandengku. Melawan mereka dengan tubuhku yang tak bernyawa. Jasad yang sejak awal tak ingin bernafas. Hanya menjadi sebongkah benda,tapi kau mempercayai aku sebagai patnermu...
Aku berterima kasih, juga meminta maaf..
Kaupun akhirnya melihat gadis itu yang menangis ketakutan. Musu semakin beringas. Kau kini menahan kesakitan.
Mengapa sakit itu harus datang?. Batinmu. Aku tahu kau sudah semakin lemah, sudah hampir tumbang. Tapi semangatmu tak padam.
Kau pejuang
Hidup mati untuk perang
Untuk kedamaian dan ketenangan
Untuk kebebasan dan kemerdekaan
Untuk indonesia...
Ternyata tuhan mengabulka do’a kita. Kau berhasil menumbangkan meeka meki kau sendiri harus tumbang.
            Sekaranglah rasa sakit itu sirna. Hilang. Melayang dalam ketenangan. Ku lihat gadis itu menangis. Andai saja aku punya air mata mungkin aku juga akan menitikkannya. Tapi apa daya, aku hanyalah sebuah benda. Sebuah pistol          . yang sekarang sudah tak berguna lagi tanpa kau sang tuannya...
Tapi aku bangga. Sampai titik darah penghabisan kita berjuang. Meskipun kita tidak bisa lagi melihat langit siang, beningnya langit malam, juga api yang hampir padam. Setidaknya aku bisa melihat gadis itu mendekati jasadmu yang tergeletak tak jauh darinya.
Aku masih bisa mendengar tangisannya, jeritannya, yang pertama kali sejak kita bertemu dengannya tadi malam. Andai kau masih bisa mendegarnya...
“bangun pejuang, bangun...ayo bangun pahlawan...indonesia membutuhkanmu”
Tapi kau tetap tak membuka matamu. Tangisannya mengiringi kepergianmu.
            Dan aku juga melihat betapa langit indonesia merah di matanya.
            Langit indonesia yang merah, menghantarmu melayang ke angkasa. Dengan setumpuk harap dan do’a. Kau yakin tuhan maha pemurah akan mengabulkannya bahwa indonesia pasti merdeka...
Selamat jalan pahlawan...






No comments:

Post a Comment